Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah disiksa dan diganggu begitu pula para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
Abu Bakar Ash-Shiddiq pada suatu hari berceramah di Masjidil Haram akhirnya dipukuli orang-orang musyrik. Di antara yang memukulinya adalah ‘Utbah bin Rabi’ah. Dia memukul wajah beliau dengan dua sandal hingga terluka.
Sebagaimana ‘Abdullah bin Mas’ud pada suatu waktu membaca Al-Qur’an dengan suara yang keras dan mereka memukulinya hingga mukanya terluka.
Adapun Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu tatkala ibunya mengetahui keimanannya, dia mengeluarkan anaknya dari rumahnya. Dia adalah anak muda yang hidup dalam curahan harta, tetapi setelah itu dia tidak lagi mendapatkan apa yang bisa mengganjal perutnya dari rasa lapar, hingga kulitnya (bersisik) terkelupas karena kelaparan seperti kulit ular yang terlepas dari badannya, dan bahkan beberapa sahabatnya menandunya karena saking laparnya.
Adapun cerita tentang Bilal radhiyallahu ‘anhu yang telah mendapatkan siksaan, yang tidak dirasakan oleh yang lainnya. Hal tersebut disebabkan ia berasal dari kalangan budak. Majikannya bernama Umayyah bin Khalaf mengikat tali di lehernya kemudian diberikan kepada anak-anak, dan mereka menjadikannya mainan yang ditarik di gunung-gunung Mekkah dan apabila matahari telah terik, ia mengeluarkan Bilal radhiyallahu ‘anhu dan merebahkannya di atas padang pasir yang panas. Kemudian meletakkan batu di atas dadanya. Dalam kondisi seperti itu, Umayyah berkata, “Saya akan memperlakukanmu seperti itu terus menerus hingga kamu mati atau tidak beriman kepada Muhammad.” Namun, Bilal radhiyallahu ‘anhu tetap berkata, “Ahad, Ahad.” Hingga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu lewat menyaksikan kejadian itu dan membebaskannya dengan menebus harganya.
Begitu juga dengan ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma, mereka adalah hamba sahaya dari Bani Makhzum. ‘Ammar masuk Islam bersama kedua orang tuanya. Orang-orang musyrik menggiring mereka ke padang pasir. Apabila matahari sudah panas, kemudian mereka disiksa dengan panas matahari itu. Dalam kondisi seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat, beliau berkata, “Bersabarlah wahai keluarga Ammar dan keluarga Yasir karena bagi kalian adalah surga.” Yasir meninggal karena siksaan dan Sumayyah meninggal karena Abu Jahal menancapkan tombak di kemaluannya. Dia adalah syahid pertama dalam Islam.
Khabbab bin Al-Aratt radhiyallahu ‘anhu juga mendapatkan siksaan yang beraneka ragam. Mereka meletakkan Khabbab di atas batu dan meletakkan batu-batu di atas badannya hingga bagian belakangnya terluka di atas batu itu.
Pada suatu hari, Khabbab datang ke majelis Umar radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “Kemarilah, karena tidak ada yang lebih pantas duduk pada majelis ini, kecuali Ammar.” Khabbab memperlihatkan bekas luka siksaan pada belakang punggungnya.
Di antara orang-orang lemah yang disiksa adalah Humamah, ibunda Bilal radhiyallahu ‘anhuma, Amir bin Fuhairah, dan lain-lain. Sementara Abu Bakar membebaskan para budak yang disiksa itu karena Allah.
Dari Said bin Jubair radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya bertanya kepada Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Apakah orang-orang musyrik telah berlebih-lebihan dalam menyiksa sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya meninggalkan agamanya?’ Dia berkata, ‘Demi Allah, mereka menyiksa umat Islam, membuat mereka lapar dan haus, hingga mereka tidak lagi mampu berdiri karena siksaan itu, hingga mereka mengabulkan apa yang orang musyrik inginkan (secara lahiriyyah). Mereka bertanya, ‘Apakah Laata dan ‘Uzza adalah tuhan kalian, bukan Allah?’ Mereka mengiyakan dan jika ada unta yang lewat, mereka bertanya, ‘Apakah itu adalah tuhan kamu, bukan Allah?’ Mereka pun mengiyakan karena begitu beratnya beban siksaan ketika itu.” Lihat Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam.
Diancam Mengucapkan Kalimat Kekafiran
Allah Ta’ala berfirman,
مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106)
Dalam hadits disebutkan bahwa orang-orang musyrik pernah menyiksa ‘Ammar bin Yasir. Ia tidaklah dilepas sampai mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung dengan kebaikan pada sesembehan orang musyrik. Lalu setelah itu ia pun dilepas. Ketika ‘Ammar mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun ditanya oleh Rasul, “Apa yang terjadi padamu?” “Sial, wahai Rasulullah. Aku tidaklah dilepas sampai aku mencelamu dan menyanjung-nyanjung sesembahan mereka.” Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap dalam keadaan tenang dengan iman.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkembali mengatakan, “Kalau mereka memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau mengulanginya lagi seperti tadi.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2:389; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8:208. Sanad hadits ini dha’if. Namun ada banyak jalur periwayatan kisah ini. Intinya kisah ini masih memiliki asal. Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 12:312 menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mursal yang saling menguatkan satu dan lainnya)
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya (14:223) mengatakan, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa siapa saja yang kufur setelah sebelumnya ia beriman, maka baginya murka Allah dan baginya siksa yang pedih. Namun siapa yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan iman, ia mengucapkannya hanya ingin menyelamatkan diri dari musuhnya, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Allah Ta’ala menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang ia ridhai dalam hatinya.
Dipaksa itu Ada Dua Macam
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22:182) disebutkan bahwa pemaksaan itu ada dua macam.
Pemaksaan pertama disebut ikrahan tamman, yaitu pemaksaan sempurna, artinya benar-benar menghadapi bahaya besar. Seperti dipaksa dengan dibunuh, dipotong, dipukul yang dapat membahayakan jiwa atau anggota badan, baik dengan sedikit atau banyak pukulan.
Pemaksaan kedua disebut ikrahan naqishan, yaitu pemaksaan yang tidak sempurna, artinya tidak benar-benar mengancam jiwa. Seperti dipenjara, dirantai, atau pukulan yang tidak sampai membahayakan jiwa atau anggota badan.
Para ulama menyatakan bahwa yang disebut pemaksaan yang boleh melakukan perbuatan kekufuran atau mengucapkan kata kufur adalah pemaksaan pertama, yaitu pemaksaan sempurna (ikrahan tamman). Namun syarat disebut ikrahan tamman adalah:
- Ancaman yang diberikan benar-benar berdampak bahaya pada jiwa atau anggota badan.
- Yang memaksa benar-benar mampu diwujudkan ancamannya.
- Yang dipaksa benar-benar tidak mampu untuk menolak ancaman pada dirinya, baik dengan melarikan diri atau meminta pertolongan pada yang lain.
- Yang dipaksa punya sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut benar-benar bisa diwujudkan oleh yang memaksa.
Bolehkah bagi yang diancam memilih untuk bersabar dan terus terkena bahaya dan terus disakiti, andai juga ia terbunuh ketika itu?
Iya, boleh memilih seperti itu. Bilal bin Rabbah radhiyallahu ‘anhu dan lainnya pernah memilih seperti itu.
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, seseorang boleh memilih untuk mati ketika diancam untuk mengatakan kalimat kufur. Seperti yang dipilih oleh Bilal. Ia enggan mengucapkan kalimat kufur. Sampai-sampai orang kafir meletakkan batu yang besar di dadanya dalam keadaan panas. Mereka terus memaksa Bilal untuk berbuat syirik kepada Allah, namun Bilal enggan menuruti keinginan mereka. Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad (artinya: Esa, Esa).” Bilal mengatakan, “Demi Allah, seandainya aku tahu suatu kalimat yang akan membuat kalian lebih marah dari kalimat itu, tentu aku akan mengucapkannya.” Semoga Allah meridhai Bilal.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4:715)
Moga Allah beri keistiqamahan kepada kita di atas iman.
Referensi:
- Fikih Sirah Nabawiyah. Dr.Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Darus Sunnah.
- Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an (Tafsir Ath-Thabari). Cetakan pertama, tahun 1423 H. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Imam Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
Diselesaikan di Pesantren Darush Sholihin, Jumat sore, 12 Dzulhijjah 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com